Jumat, 07 Oktober 2011

Hukum, Dalil, Illat dan Hikmah

by Mbah Pesbuk's



Penetapan Hukum Berdasarkan Dalil

Hukum (sebagai kalam nafsi sebagaimana pandangan para ahli ushul), tidak mungkin ditangkap oleh siapapun. Karena hal itulah agama hanya memberikan tanda-tanda atau statement yang dapat dijadikan suatu pegangan oleh para ahli untuk dijadikan sebagai salah satu alat mengetahui hukum, yaitu “dalil’, sebagai istilah yang lazim dipakai oleh ahli hukum.

Berdasarkan pemikiran filosofis, para ahli hukum Islam, baik dari kalangan ushul maupun fiqih bersepakat untukmenyatakan bahwa dalil  berfungsi hanya sebagai petunjuk dan tanda yang dapat memberi tahu tentang ada atau tidaknya hukum. Karena hal itulah, sesuatu bisa dihukumi wajib, haram, sunnah, makruh atau mubah, selalu berdasarkan pada ada tidaknya dalil.

Dalil-dalil yang telah disepakati oleh para fuqaha itu ada empat, yaitu al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas (Wahbah, Ushul..., Op-Cit, Juz 1, hal.176). Sekalipun demikian, masih ditemukan adanya beberapa dalil yang bobot kehujjahannya masih diperselisihkan, diantaranya ialah istihsan, istishhab, mashlahah mursalah, ‘urf, syadd al-dzarai, qaul shahabi dan sebagainya. Maka dari itu, penetapan hukum tanpa mendasarkan pada dalil yang mu’tabar dinamakan “tahakkum (membuat-buat hukum)”.

Dari faktor itu muncul suatu konsep dalam berdiskusi (munadzarah), bahwa setiap orang yang menyatakan halah atau haram, wajib baginya mendatangkan dalil. Hal ini lazim dikenal dengan istilah “al musybitu yuthlabu biddaliil”.

Dengan demikian, maka setiap penetapan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah fihqiyyah, pasti membutuhkan adanya suatu dalil, sehingga antara keduanya tidak boleh terjadi adanya keterpisahan apalagi terlepas, dan pengikatnya adalah “ijtihad”. Hal ini berbeda dengan “syari’ah” yang memang tidak memberlakukan adanya ijtihad antara hukum dan dalil.

Hukum Tidak Terlepas dari ‘Illah dan Hikmah

Mengingat hukum itu tidak boleh terlepas dari dalil, maka tidak boleh pula hukum itu terlepas dari ‘Illat dan Hikmah, sebab pada dasarnya tujuan utama pensyari’atan hukum Islam adalah meraih kemaslahatan dan menolak kerusakan (“Daf’ul mafasdi” dan “Jalbul mashaalihi”), baik di dunia maupun di akhirat (Ibid, hal.652-653). Tujuan inilah yang lazim disebut dengan istilah Hikmah, yaitu:

“almashlahatu almaqshuudu lisysyaari’i min tasyrii’atil hukmi” (kemaslahatan yang memang dikehendaki dan dijadikan tujuan oleh syar’i dari pada mensyari’atkannya pada hukum). (al-Subki, Hasyiyah al-Banani ‘ala Syakh Jam’al-Jawami’, Juz II, hal.236).

Adapun ‘Illat adalah:

“al’illatu washfun fil ashli yutsbitu ‘alaihi hukmuhu wayu’raqu bihi wujuuduhu fil far’i” (‘illat ialah suatu sifat pada perkara asal yang dari sifat itu dikeluarkan hukumnya dan dengan perantarnannya diketahui wujud hukum pada cabangnya). (al-Syaukani, Irsyad..., Op-Cit, hal.204).

Dari definisi inilah muncul ketetapan bahwa setiap hukum tidak bisa terlepas dari suatu ‘Illat atau sebab-sebab yang menjadi “ta’lil al-Hukmi”-nya, karena yang dimaksud dengan istilah ini adalah:
“ta’liilul hukmi huwa ta’yiynussababi alladzii syara’a asysyaari’u hukman binaa an ‘alaihi” (ta’lil al-hukm ialah menentukan suatu sebab yang dijadikan dasar pijakan bagi syara’ untuk mensyari’atkan suatu hukum). (al-Subki, al-Banani..., Op-Cit, hal.237 dan Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh).

Oleh sebab itu,  untuk mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk Hikmah, diperlukanlah pengetahuan tentang seluk beluk ‘Illat, sebab pada hakikatnya di dalam ‘Illat itu terkandung suatu Hikmah (Ibid), sehingga pada akhirnya dapat diketahui bentuk hikmah di balik pensyari’atan hukum, karena ‘Illat berfungsi sebagai pemberi tahu tentang ada dan tidaknya suatu hukum, dimana dalam perjalanan selanjutnya, jika ‘Illat dari suatu hukum telah dapat diketahui dan dimengerti, maka dapat juga diketahui dan dimengerti status hukum masalah-masalah lain yang memiliki kesamaan ‘Illat, tetapi status hukumnya belum ditegaskan dan dijelaskan oleh nash. Disinilah letak hubungan yang sangat erat antara Hukum, ‘Illat dan Hikmah, dimana ketiganya tidak akan terpisahkan apalagi terlepas.

Contoh:

 a.       Hukum kebolehan meringkas (Qashar) shalat bagi orang yang sedang dalam perjalanan (safar);
-      ‘Illat; “bepergian”. Setiap safar sejauh ±80km, memperbolehkan shalat dengan cara Qashar (meringkas) dari empat raka’at menjadi dua raka’at.
-      Hikmah; “Adanya dugaan kuat mendapatkan kesulitan (mazhinnatul masyaqqah) dalam bepergian bagi yang bersangkutan” - sebab sifat yang ada dalam “bepergian” itu dapat dilihat secara jelas pada ukuran-ukurannya. Sedang “Hikmah” yang terdapat didalam masalah adanya dugaan kuat akan terjadi kesempitan, tidak dapat diketahui secara pasti tentang seberapa jauh bobot nilai dari masyaqqat tersebut. (Lihat al-Subkiy, Syarkh Jam’ul..., Op-Cit, Juz I, hal.650).

Dari masalah ini dapat dimengerti, adanya kesulitan (masyaqqah) dijadikan sebagai ‘Illat Hukum, maka yang terjadi adalah munculnya suatu ketentuan hukum bahwa kebolehan Qashar itu berlaku tidak hanya bagi mereka yang sedang bepergian (musafir), tetapi masuk pula ke dalamnya mereka yang selalu bekerja keras, yang keadaannya membuat mereka merasa kesulitan (masyaqqah) untuk mengerjakan shalat, sehingga baginya diperbolehkan meringkas (qashar). Akan tetapi, mereka yang melakukan perjalanan sangat jauh dengan menggunakan pesawat tanpa ada kesulitan apapun, tidak diperbolehkan Qashar (Padalah hukum kebolehan meng-qashar shalat adalah safar sebagai ‘Illatnya; lantaran dalam safar itu sendiri diduga kuat muncul masyaqqah. Lihat Wahbah, Ushul..., Op-Cit, Juz I, hal.650).

b.      Hukum keharaman meminum minuman keras (al-Qur’an dan terjemahannya, al-Baqarah:219 lalu al-Maidah:90);
-      ‘Illat; “memabukkan”. Yang sifatnya dapat ditangkap oleh panca indra (al-Subkiy, al-Banani, Syarkh Jam’u..., Op-Cit, hal.240).
-      Hikmah; “Adanya dugaan kuat muncul tindakan melanggar hukum yang diluar kesadaran, baik permusuhan maupun kebencian dan lainnya. (Wahbah, Ushul..., Op-Cit, Juz I, hal.650).

Oleh sebab itu, dengan mengerti dan mengetahui ‘Illat dan Hikmah dalam hukum keharaman seperti itu, dapat difahami bahwa setiap benda yang memiliki ‘Illat dan Hikmah yang sama, dapat dengan langsung dikatagorikan sebagai “khamr” dengan status hukum haram. Sekalipun tidak berupa cairan.


(Dikutip dari; Studi Analisis Istinbath para Fuqaha, Drs. Muhammad Ma’shum Zien, M.A., halaman 29-32)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar